Fenomena Harga Tiket Tempat Wisata Berkali-kali Lipat untuk Wisatawan Asing di Indonesia

Akhir pekan kemarin, saya berkesempatan untuk datang ke sebuah tempat wisata di Pantai Indah Kapuk yang biasa dikenal oleh masyarakat lokal sebagai Hutan Bakau, atau Mangrove Forest bahasa Inggrisnya.

 

Seperti layaknya tempat wisata, tadinya ketika saya tiba di Mangrove Forest, saya pikir akan menemukan wisatawan asing di tempat ini. Ternyata tidak. Padahal, kunjungan wisatawan asing (WNA) ke Jakarta juga tidak bisa dibilang sedikit. Usut punya usut, harga tiket masuk untuk WNA lah yang ternyata membuat mundur mereka untuk mengunjungi Hutan Bakau ini.

 

Menyedihkan.

Saya yang saat itu membawa dua orang teman dari Republik Ceko dan Polandia terpaksa menyesalkan keputusan nilai tiket masuk Hutan Bakau tersebut. Bayangkan saja, untuk masyarakat lokal, dihargai sebesar Rp. 25.000,-/orang. Sedangkan untuk WNA, diminta membayar Rp. 250.000,-/orang. SEPULUH KALI LIPAT BESARNYA!

Siapa yang tidak kecewa dengan perlakuan diskriminasi seperti ini?

Andaikan kita, sebagai orang Indonesia diperlakukan seperti itu di negara lain, tentunya kita pun akan merasa keki berat dan membatalkan niat untuk masuk ke dalam tempat wisata yang kita inginkan, walau tempat tersebut sudah berada di depan mata.

Itu pun yang kami lakukan.

 

Ada lagi cerita lainnya.

Ketika teman saya Valentina berpergian dengan teman bulenya ke Tangkuban Perahu, same thing happened! Ketika dia diminta Rp. 30.000,-, temannya yang notabene bule diminta Rp. 300.000,-. LAGI, SEPULUH KALI LIPAT BEDANYA.

 

Saya tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Dinas Pariwisata Daerah ketika memutuskan untuk melakukan kenaikan harga tiket masuk tempat wisata dengan perbedaan harga yang sangat tidak masuk akal ini. Apakah mereka berharap untuk mendapatkan keuntungan yang besar? Ataukah niatnya untuk pembangunan tempat tersebut?

 

Jika mereka ingin mendapatkan keuntungan daerah yang besar dari para wisatawan asing. Coret saja niat tersebut dari agenda tahunan. Karena bukannya wisatawan asing bersuka hati untuk datang ke tempat tersebut. Malahan mereka emoh mengunjungi tempat tersebut dan paling buruknya adalah emoh mengunjungi tempat-tempat lainnya di Indonesia.

 

Bisa saja beberapa wisatawan asing sudah kepalang basah melakukan perjalanan yang sangat jauh demi bisa mencapai tempat tersebut dan akhirnya terpaksa rela membayar harga tiket masuk yang penuh diskriminasi tersebut. Namun kemudian, dia akan menuliskan review pedas di blognya, menuliskan komplain keras di dalam akun social media, lalu menceritakan hal tersebut kepada keluarga dan teman mereka tentang perbedaan harga luar biasa yang harus mereka bayar di Indonesia. Dan informasi dari mulut ke mulut tersebut akan mencoreng nilai pariwisata di Indonesia. Bukan hanya mencoreng, itu memberikan dampak keenganan wisatawan asing untuk datang ke Indonesia untuk jangka panjang.

 

Berkali-kali saya mendapat kritikan dan pertanyaan dari teman-teman mancanegara perihal hal tersebut. Berkali-kali juga saya terpaksa ngeles kaya bajaj demi membela keputusan negara saya, yang menurut saya sendiri juga sangat tidak masuk akal.

 

Percayalah, sistem pemberlakuan perbedaan harga tiket yang luar biasa ini tidak akan mendatangkan hal baik di kemudian hari. Keinginan untuk mendapatkan keuntungan besar saat ini tanpa memperdulikan efeknya untuk banyak hal, tidak akan mendatangkan kebaikan jangka panjang bagi kepariwisataan Indonesia. Coba saja bandingkan sendiri, tempat yang punya perbedaan harga tiket yang luar biasa besar apakah ramai dikunjungi oleh wisatawan asing, dibandingkan dengan tempat-tempat wisata yang memberlakukan harga tiket masuk yang sama.

Jika ada yang bilang “toh di negara lain juga dibedakan.” Coba di cek, berapa kali lipat perbedaan harga tiket masuk yang mereka berlakukan. Dulu di Eropa, saya perhatikan, yang dapat tiket murah adalah mereka yang di bawah 17 tahun (student), para lansia serta disabled people. Sedangkan yang dikategorikan sebagai orang dewasa membayar jumlah yang sama dengan mereka wisatawan dari luar negeri.

 

Lalu di negara Asia lainnya yang pernah saya kunjungi, paling-paling perbedaan tiket yang diberlakukan adalah 2-3 kali lipat dari masyarakat lokal.

 

Bagus jika jumlah perbedaan harga tiket tersebut memang betul-betul di kelola dengan baik seperti yang terlihat di Borobudur. Juni lalu ketika saya mengunjungi Candi Borobudur, saya melihat perawatan yang excellent untuk Candi yang masuk dalam Seven of Wonders dan Unesco Heritage itu. Tiket masuknya memang sekitar Rp. 250.000,- untuk wisatawan asing dan Rp. 30.000,- untuk wisatawan lokal. Nah tempat-tempat yang tidak sekelas Unesco Heritage List kok pede banget pasang harga tiket semahal itu? Saya ga habis pikir. Padahal, fasilitas publiknya biasanya masih tergolong buruk. Entah tempat sampah tidak ada, atau toilet seadanya yang bau pesingnya ampun-ampunan.

 

Lalu, hal yang menyedihkan lainnya adalah perlakuan terhadap Museum dan Bangunan-bangunan bersejarah yang kita miliki. Contoh saja Museum Sejarah Jakarta yang dihargai sangat murah untuk tiket masuknya, lalu kita harus siap-siap saja melongo ketika masuk ke dalamnya, karena hampir tidak ada isinya di dalam bangunan luas tersebut.

 

Dalam pengertian saya yang kurang canggih ini, mungkin sebaiknya Dinas Kepariwisataan melakukan penyesuaian harga tiket masuk dan kualitas. Semua tiket masuk tempat wisata yang berkali-kali lipat bedanya sebaiknya diturunkan secara fair, dan semua tiket masuk Museum dan Bangunan yang kaya sejarah dan tiketnya masuknya sangat murah luar biasa, rasanya wajar untuk dinaikkan dengan catatan perawatan yang bagus, kebersihan dan penambahan koleksi sejarah sehingga bangunan tidak terlihat kosong melompong.

 

Syukur-syukur kalau tulisan ini bisa menggerakkan para pelaku penetapan harga tiket masuk tempat wisata di Indonesia, sehingga saya tidak perlu capek-capek ngeles bajaj lagi di hadapan para teman-teman mancanegara yang begitu antusias untuk datang ke Indonesia.

 

Salam traveler,

Dea Sihotang

Disclaimer

15 Comments Add yours

  1. kelanakecil says:

    Saya mengurungkan niat ke mangrove itu juga karena harga tiketnya yang ga masuk akal untuk WNA 😦 , di taman wisata grojogan sewu WNA juga harus membayar Rp 160.000. Saya setuju,pihak kementrian pariwisata harus punya aturan untuk menentukan harga tiket, jangan asal pasang harga mahal buat WNA. Semoga tulisan ini beneran bisa menggerakkan yaaah…

    Liked by 1 person

  2. nate says:

    bener banget nih, keknya orang-orang indo udah kelewatan dah.
    kalau kita yang keluar negri pasti gak bakalan mau dikasih keistimewaan macam gini. Mungkin masyrakat kita hanya mencari keutungan pribadi dan sementara doang tanpa memikirkan dampak lebih lanjutnya. dan mungkin mereka butuh edukasi biar mereka paham?

    Liked by 1 person

  3. sansadhia says:

    Gue merasakan waktu di Taman Nasional Bantimurung. Harga tiket untuk WNA 10 kali lipat lebih mahal. Indonesia stres sepertinya 😦

    Liked by 1 person

  4. Inzanami says:

    Selisih harganya gak masuk akal, tinggal nunggu waktu aja yang kek gini gak bakal lama.

    Liked by 1 person

  5. Buset,10x lipat, keterlaluan banget!😭😭

    Liked by 1 person

  6. Vika says:

    Setujuh… Tulisan ini harud di fwd ke kementeian Pariwisata

    Like

  7. Sari Suwito says:

    ibaratnya, alih2 petik buahnya malah tebang pohonnya.

    Like

  8. Sama seperti di taman nasional yang biaya masuknya juga kurang jelas diperuntukkan untuk apa. Di Bromo, selain berbeda tarif masuknya, tarif jeep bagi wisatawan asing bisa lebih dari 3 kali lipat dari wisatawan domestik. Saya pernah jadi saksi dan kasihan, beruntung wisman tersebut urung naik jeep dan memilih naik ojek yang murah ke Pananjakan 2 yang lebih rendah.

    Menurut saya, sepakat harus dikaji ulang. Menyesuaikan kurs yang berlaku, sehingga tarifnya tidak berbeda terlalu jauh. Saya kira, berlipat-lipatnya biaya tiket untuk wisatawan asing itu mengada-ada banget. Kentara jika seolah ngejar untung demi mencapai BEP atau balik modal 😦

    Like

  9. Exactly what we’ve been ranting about. Tapi tiap kali protes begitu selalu ada aja yg bilang kalo di negara2 laen juga memberlakukan hal yg sama. Bahkan yg menyebalkan, waktu ke Bengkulu ke Rumah Pengasingan Sukarno. Lokal 3000rupiah, bule diminta 10rb. Padahal ga ada tiket resmi sama sekali. Cuma segerombolan pemuda yang jaga buku tamu. Pas ditanya kenapa beda, mereka sambil ketawa2 bilang “Kan bule banyak duitnya.” Langsung deh Adam ngambek dan ga jadi masuk. Bukan soal duitnya, toh cuma 10rb. Tapi ya perasaan didiskriminasiinnya itu loh. Thanks for writing this post. Semoga tersampaikan ke pihak2 yang berkepentingan. Demi pariwisata Indonesia yang lebih baik. Amin!

    Like

  10. februar alfian says:

    Ia nih de , kalian yang aktif di travel blogger suarin ke pihak terkait agar dicari solusi terbaik. Bebas visa si bebas visa tapi klo sampe sini begitu keadaan nya yah kaya semacam “Terjabak”.

    Like

  11. Therka Marka says:

    Jadi pengen comment jg.. Suami saya adalah WNA pemegang KITAS.. Pernah mau mengunjungi danau telaga warna di daerah puncak, bogor.. Tiket utk lokal Rp.7.500,- sedangkan mancanegara Rp. 150.000,- belum termasuk asuransi dsb..

    Saya sudah menjelaskan ke penjaga tiket, ini suami saya, pemegang KITAS, punya istri dan menafkahi keluarga di Indonesia.. Apakah tetap berlaku aturan diskrimimasi ini? Dan.. mereka tetap kekeuh bersikeras.. Suami ibu orang bule, jadi harus bayar tiket mancanegara.. &@%$(@ gila, gmn nanti dgn anak2 kami yang half indonesia, sungguh rasis sekali negeri ini, hanya memandang warna kulit.. WNA bagi mereka hanyalah orang kulit putih, bule.. nah, gmn klo mereka ketemu orang asia bisa bahasa indonesia yah? let say malaysian? chinese? dan patut dicatat pula, tidak semua WNA itu kaya, bisa di kurs dgn mata uang, krn contoh suami sy bekerja keras disini jg dgn bayaran lokal.. berjualan demi menafkahi anak istri..

    jadi.. yah, memang miris sekali dgn keadaan ini.. semoga indonesia ke depan bisa berubah, dalam hal pariwisata ini.. tidak ada diskriminasi, kami sangat cinta alam Indonesia, krn itulah kami pindah kesini.. bagaimanapun, we proud to be indonesian.. 🙂

    Like

  12. stevani says:

    Same thing happpened!
    Pertama kali saya dan rekan yang sudah punya KITAS (sudah bekerja di Indonesia selama 3 tahun) menuju hutan mangrove, juga di charge dengan harga 120rb yang sama sekali tidak tahu angka itu muncul dari perhitungan siapa dan bagaimana. Sementara saya dan rekan sudah ke Borobudur dan candi lainnya, diberlakukan sama dengan lokal karena KITAS terkait.
    Visit pertama kita cancel karena bayar yang mahal dan tidak diberlakukan ramah oleh petugas setempat yang sempat bentak saya ” Kalau ga mau bayar ya ga usah masuk!mobilnya mundurin nih,bikin macet!”
    Visit kedua dicoba lagi, di charge 125rb (naik 5rb).
    Ini kebangetan sih..

    Like

  13. Buckers says:

    Tiket 10 x lipat itu mahal bagi kita, tidak buat mereka, ribuan wisatawan terus mengalir meski harga tiket Bromo 325.000/org, sedangkan kita hanya 32.500, bahkan wisatawan asing ini ga berhenti wisata lanjut Bali, Banyuwangi, Bromo, Jogja,.. 325.000 hanyalah sekian persen dari penghasilan mereka, sy bertemu banyak turis muda, mereka keliling Asia, ternyata sy tanya, mereka hanya penjaga toko di negaranya, seorang karyawan bisa keliling Asia Tenggara dgn pendapatannya

    Like

    1. Therka says:

      oo..ok.. klo begitu kenapa ga sekalian tiket dufan 10x lipat juga ya.. 250.000 untuk lokal dan 2.500.000 untuk wisatawan asing.. atau tiket taman safari, 300.000 untuk lokal dan 3.000.000 untuk wisatawan asing.. dan sekalian kita bedakan saja tarif taksi, makanan, rokok, minuman, di cafe, utk asing 10x lipat..

      sekedar bagi pengalaman jg, teman2 sy yg kerja di luar dan datang ke indo ini “terjebak”.. mereka hanya tahu indahnya Bali/Borobudur.. mereka tidak tahu bahwa tarif akan 10x lipat.. hanya tau ketika sudah jauh2 datang, eh tiket segitu.. ya udah gmn lagi.. ini fakta, mereka tidak tau harga 10x lipat ini..

      coba seandainya kita jd turis asing tersebut..hanya penjaga toko, let say 30jt penghasilannya disana dgn biaya hidup “sana”.. okelah menabung utk wisata.. kemudian terbang ke indonesia, dan akan “dirampok” sama dengan standard biaya hidup sana.. sy akan “lebih mikir”.. mending ke negara asia tenggara lainnya..

      bagaimana pula dgn WNA yg tdk mendapatkan penghasilan 10x lipat (menurut orang indo..) tdk semua orang bernasib sama.. apakah penjaga toko di Filipina, Vietnam.. penghasilannya sama? mereka WNA jg.. (ingat: WNA bukan hanya bule caucasian/USA/Eropa/Australia saja)

      well.. just saying.. make me so speechless -_-

      Like

  14. andrea Rozaq says:

    Memang sangat menyedihkan terutama ticket masuk ke daerah wisata tidak pernah benar ticket tidak diberikan sepenuhnya dari tarif sepenuhnya kalau lagi musim liburan pendatang tidak nyaman karena keterbatasan fasilitas karena penuh wisatawan disaat itulah kami wisatawan merasa sedikit diperas dan siapa yg panen?

    Like

Leave a comment